Kamis, 23 Mei 2013

Makalah Kebijakan Moneter di Indonesia Pasca Krisis Global



MENGINTEGRASIKAN KEBIJAKAN MONETER DAN MAKROPRUDENSIAL:
Kebijakan Moneter di Indonesia Pasca Krisis Global

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas akhir semester
Mata Kuliah: Seminar Keuangan dan Perbankan Syari’ah
Dosen Pengampu: Bpk. M. Fauzi



 





                                                                                                                                       


Disusun oleh :
MUHAMMAD HISYAM    (092411112)


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013



 


I.           LATAR BELAKANG
Bagi pembuat kebijakan seperti Bank Indonesia, krisis ekonomi dan keuangan adalah suatu kejadian mahal yang dapat digunakan untuk melakukan refleksi, mengambil pelajaran atas kejadian yang baru saja dilewati, dan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas apa yang dilakukan selama ini. Sebagaimana halnya krisis-krisis ekonomi sebelumnya, krisis ekonomi dan keuangan global yang saat ini sedang dalam proses pemulihan memberikan sejumlah pelajaran berharga bagi otoritas moneter. Pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik mempunyai implikasi yang penting bagi perbaikan-perbaikan atas kerangka kebijakan moneter yang selama ini kita pahami dan kita gunakan.
Boom-bust dari pertumbuhan kredit seiring dengan siklus kepercayaan ini pada akhirnya semakin memperbesar fluktuasi perekonomian. Secara inheren perilaku bank membaik, berbalik menjadi sangat risk-averse yang berlebihan ketika terjadi pelemahan ekonomi. Kedua, perilaku ini juga seringkali diperparah oleh regulasi yang bekerja secara prosiklikal, yaitu mendorong pertumbuhan kredit di saat pertumbuhan ekonomi membaik dan sebaliknya mendorong pengetatan kredit saat perekonomian melemah. Regulasi perbankan yang lebih difokuskan pada kesehatan individu bank ini seringkali tidak kompatibel dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan dan makroekonomi.
Implikasinya adalah bahwa kebijakan moneter yang berorientasi pada inflasi yang rendah, seperti Inflation Targeting Framework tidaklah cukup. Dia perlu didukung oleh adanya sebuah instrumen regulasi prudensial di sektor perbankan yang didisain untuk menjaga stabilitas makroekonomi secara keseluruhan sebuah instrumen yang sering disebut sebagai kebijakan makroprudensial. Dalam konteks ini, bank sentral harus selalu memperhatikan interaksi antara sektor finansial dan sektor riil. Mengabaikan interaksi ini dapat menyebabkan bank sentral menjadi cenderung memandang rendah risiko di sektor keuangan ketika makroekonomi dalam kondisi yang stabil, dan cenderung memandang berlebihan terhadap risiko di sektor keuangan ketika dihadapkan pada kondisi makroekonomi yang tidak stabil. Artinya, perlu sebuah sinergi antara kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial yang berperan menekan prosiklikalitas mendukung kebijakan moneter untuk mengurangi fluktuasi output.
II.        PERUMUSAN MASALAH
Makalah ini akan mencoba membuka pemikiran tentang perlunya sebuah paradigma baru dalam kebijakan moneter pasca krisis global. Mengintegrasikan aspek makroprudensial ke dalam kebijakan moneter, membawa implikasi pada perlunya melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kerangka kebijakan moneter. Bagaimana pentingnya kebijakan moneter terhadap stabilitas sistem keuangan? Bagaimana memasukkan makroprudensial kedalam framework kebijakan moneter? Bagaimana kebijakan makroprudensial yang countercyclical?
III.     PEMBAHASAN
Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga stabilitas harga. Untuk mencapai tujuan tersebut, bank sentral menggunakan suku bunga kebijakan sebagai instrumen utama. Namun, menjaga stabilitas harga tidaklah cukup untuk menjamin tercapainya stabilitas makroekonomi, karena sistem keuangan yang berperilaku prosiklikal menyebabkan fluktuasi perekonomian yang berlebihan. Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah bagaimana kebijakan moneter dapat secara efektif menjaga stabilitas makro ekonomi.
A.    Kebijakan Moneter dan Stabilitas Sistem Keuangan
Isu penting dalam konteks peran kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan adalah bagaimana bank sentral merespon ketidakseimbangan yang terjadi di sektor keuangan (financial imbalances). Isu yang telah lama menjadi perdebatan ini muncul kembali setelah krisis global karena adanya argumen bahwa krisis global yang terjadi sebagaian disebabkan oleh kebijakan moneter yang melakukan pembiaran terjadinya akumulasi imbalances dan kenaikan harga aset yang berlebihan. IMF (2009), misalnya, mengatakan bahwa pendekatan “benign neglect” seperti itu telah menyebabkan moral hazard dan speculative booms yang menyebabkan kenaikan harga aset jauh melebihi fundamentalnya.
Dalam perdebatan ini, ada dua pendapat yang berseberangan, yaitu “clean” vs “lean” pendekatan aktif vs pendekatan pasif. Pandangan pertama mengatakan bahwa bank sentral seharusnya fokus pada inflasi. Harga-harga aset perlu dimonitor sepanjang mengandung informasi mengenai kondisi perekonomian, namun bank sentral tidak perlu merespon kenaikan harga aset tersebut itu sendiri. Pandangan ini didasarkan pada dua argumen. Pertama, tidak mudah membedakan antara kenaikan harga aset yang disebabkan oleh spekulasi dengan yang disebabkan oleh optimisme yang masih rasional. Kedua, kebijakan moneter terlalu tumpul untuk menghentikan kenaikan harga aset dan intervensi kebijakan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Pandangan ini mengatakan lebih baik merespons dampak dari bubble secara expost, daripada mencegah berkembangnya asset bubble secara ex ante.
Kenaikan harga aset akibat spekulasi memang tidak mudah diidentifikasi dengan pasti. Namun, lebih baik melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya krisis dari pada bersikap pasif dan membiarkan berkembangnya kegiatan spekulatif yang mengarah kepada skenario krisis. Membatasi peran bank sentral untuk sekedar pasif ketika pertumbuhan kredit melambung tinggi dan membiarkan harga aset menggelembung. Hal ini akan menciptakan moral hazard dari pelaku pasar. Selama pelaku pasar tahu bahwa bank sentral tidak akan mengerem kenaikan harga aset, mereka akan terus mendorong harga aset. Apalagi ketika mereka tahu bahwa ada jaminan dari bank sentral akan menyediakan likuiditas yang cukup ketika krisis terjadi.
Hal tersebut mendorong munculnya argumen sebaliknya, yaitu bank sentral seharusnya “leaning againts the wind”, melakukan respon terhadap keseimbangan di sektor keuangan. Argumen ini telah banyak dikemukakan utamanya oleh Bank for International Settlement (BIS) jauh-jauh hari sebelum global terjadi.[1]
Argumennya adalah bank sentral dapat menggunakan instrumen suku bunga lebih dari yang diperlukan oleh inflasi dan output gap apabila menghadapi pertumbuhan kredit yang terlalu cepat dan laju kenaikan yang kencang dari harga aset.[2] Artinya, walaupun inflasi kelihatannya terkendali, bank sentral dapat melakukan pengetatan kebijakan moneter apabila ada tanda-tanda berkembangnya bubble, tercermin dari kenaikan yang tajam dari pemberian kredit, meningkatnya leverage pada institusi keuangan, neraca perusahaan, dan rumah tangga, maupun harga-harga asset, termasuk stok dan properti. Dengan kata lain, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan kebijakan moneter harus berperan secara simetris,bukan saja merespon ketika fase bust, namun juga pada saat fase boom dari siklus ekonomi dan keuangan.
Kebijakan moneter mempunyai potensi dalam memitigasi risiko berkembangnya ketidakseimbangan di sektor keuangan. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi perekonomian riil dan inflasi melalui pengaruhnya pada neraca perusahaan, neraca bank, dan perilaku perusahaan dan bank terhadap risiko. Oleh sebab itu, kebijakan moneter mempunyai peran yang signifikan dalam mempengaruhi ekspansi yang berlebihan di sektor keuangan yang mengarah kondisi yang tidak sustainable. Dengan demikian, kebijakan moneter memiliki potensi untuk mengurangi ketidakseimbangan di sektor keuangan dan prosiklikalitas dengan mengurangi optimisme yang berlebihan dan menekan permintaan kredit.
Pentingnya kebijakan moneter dalam mengendalikan ketidakseimbangan di sektor keuangan, tidak berarti bahwa stabilitas harga aset menjadi target eksplisit kebijakan moneter. Kebijakan moneter sendiri tidak mampu mengendalikan harga aset, terutama ketika spekulasi harga aset mendorong kenaikan harga aset yang menyebabkan imbal hasil dari aset tersebut sangat tinggi. Dalam kondisi demikian, perubahan suku bunga kebijakan tidak akan berpengaruh pada portofolio investor, terutama untuk investasi di pasar keuangan. Kenaikan suku bunga kebijakan yang bersifat across the board ini akan menyebabkan overkill terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Mengikuti prinsip Tinbergen bahwa satu instrumen tidak bisa digunakan untuk mentargetkan lebih dari tujuan, kebijakan moneter memerlukan instrumen tambahan untuk mendukungnya dalam mengendalikan kenaikan harga aset. Instrumen regulasi makroprudensial yang didisain untuk melakukan countercyclical dapat digunakan untuk mengatasi prosiklikalitas dan mendukung kebijakan moneter dalam mencapai stabilitas makroekonomi.
B.     Kebijakan Makroprudensial yang Countercyclical
1.      Konsep kebijakan makroprudensial
Kebijakan makroprudensial adalah instrumen regulasi prudensial yang ditujukan untuk mendorong stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, bukan kesehatan lembaga keuangan secara individu. Walaupun kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial memiliki area yang saling tumpang tindih, kebijakan makroprudensial mempunyai tujuan dan peran tersendiri. Tujuan kebijakan moneter adalah menstabilkan harga dari barang dan jasa dalam perekonomian. Sementara itu, tujuan dari kebijakan makroprudensial adalah untuk menjamin daya tahan sistem keuangan secara keseluruhan dalam rangka menjaga suplai jasa intermediasi keuangan kepada perekonomian secara keseluruhan. Untuk itu, kebijakan makroprudensial digunakan untuk mencegah terjadinya siklus boom-bust suplai kredit dan likuiditas yang dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian. Dengan peran menjaga stabilitas suplai intermediasi keuangan ini, kebijakan makroprudensial mempunyai peran yang menunjang tujuan kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas harga dan output.
Ada dua dimensi penting dari kebijakan makroprudensial. Pertama, dimensi crosssection, yang menggeser fokus dari regulasi prudensial yang diterapkan pada individual lembaga keuangan menuju pada regulasi sistem secara keseluruhan. Sejarah krisis keuangan menunjukkan bahwa sebagian besar dari krisis keuangan yang terjadi di dunia bukanlah akibat dari masalah individual bank yang kemudian menular secara keseluruh sistem keuangan. Sebaliknya, krisis-krisis besar yang terjadi merupakan akibat dari eksposure terhadap ketidakseimbangan makro-keuangan yang dilakukan secara bersamaan oleh sebagian besar pelaku sistem keuangan. Oleh sebab itu, pandangan yang lebih holistik terhadap sistem keuangan dan hubungannya dengan perekonomian makro dari berbagai sisi sangat diperlukan.
Dimensi kedua adalah dimensi time-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan.[3] Dalam konteks ini, kebijakan makroprudensial harus didisain sedemikian sehingga mampu menghilangkan atau paling tidak memitigasi prosiklikalitas. Prinsipnya adalah bagaimana mendorong institusi keuangan untuk mempersiapkan bantalan (buffer) yang cukup di saat perekonomian sedang baik, yaitu ketika ketidakseimbangan dalam sistem keuangan umumnya terjadi, dan bagaimana menggunakan bantalan tersebut ketika perekonomian sedang memburuk.
Tujuan dari kebijakan makroprudensial yang bersifat countercyclical tersebut akan bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang melaju kencang (periode upswing) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit sehingga menjaga daya tahan bank ke depan di saat perekonomian memburuk. Dalam kondisi demikian, upaya menjaga daya tahan sistem perbankan akan secara simultan mendukung tujuan kebijakan moneter untuk menstabilkan suplai kredit.
Di saat krisis, ketika perekonomian dan harga aset anjlok, regulasi prudensial yang hanya berorientasi pada kesehatan individual bank akan mendorong bank memperketat pemberian kredit melalui kenaikan PPAP dan persyaratan modal yang lebih ketat. Ketika perekonomian melemah, kualitas debitur memburuk sehingga mengharuskan bank menyediakan tambahan modal. Karena menambah modal dalam jangka pendek tidak mudah, maka bank akan menurunkan penyaluran kredit untuk memenuhi ketentuan rasio modal. Dampaknya adalah perekonomian semakin mengalami kontraksi, risiko gagal bayar semakin meningkat dan modal bank semakin memburuk. Disinilah peran kebijakan makroprudensial yang akan menjamin aliran kredit dapat berlangsung secara kontinyu dengan mendorong bank mempersiapkan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang baik dan menurunkan persyaratan modal di saat krisis dan resesi sehingga tidak menghambat bank dalam penyaluran kredit.
2.      Operasionalisasi Kebijakan Makroprudensial
Secara operasional, sejumlah kajian telah dilakukan untuk mendisain kebijakan makroprudensial yang bersifat “countercyclical”.[4]
Dalam konteks regulasi persyaratan modal, instrumen regulasi modal yang bersifat countercyclical adalah tambahan modal atau surcharge diatas modal minimum yang disyaratkan oleh regulasi makroprudensial. “Capital surcharge” tersebut harus bersifat dinamis (time-varying capital surcharge), bervariasi secara countercyclical; meningkat ketika perekonomian sedang naik untuk mengerem pertumbuhan neraca bank dan turun ketika periode sedang melemah untuk memberikan insentif kepada bank untuk tetap menyalurkan kredit. Capital surcharge juga dapat dikenakan secara bervariasi sesuai dengan risiko sektoral, seperti sektor properti.
Hal yang krusial dalam regulasi ini adalah menentukan kapan tambahan modal diberlakukan. Salah satu pendekatan adalah dengan menggunakan sejumlah indikator yang dapat menggambarkan siklus kredit, seperti pertumbuhan kredit, spread suku bunga kredit, survei kredit, pertumbuhan kredit ke sektor tertentu seperti perumahan, harga rumah, dan leverage sektor korporasi. Indiaktor-indikator ini dapat diagregasi menjadi sebuah indikator komposit.
Arus modal asing juga bersifat prosiklikal.[5] Arus modal masuk ke suatu negara terjadi ketika investor asing mempunyai ekspektasi akan membaiknya perekonomian domestik yang biasanya dibarengi oleh interest diferensial yang positif dan ekspektasi apresiasi dari mata uang domestik. Arus modal masuk ini apabila diintermediasikan ke sektor riil menimbulkan “credit boom” yang mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat. Sebaliknya, ketika terjadi ekspektasi terhadap perekonomian domestik memburuk terjadi arus modal keluar sehingga memperburuk perekonomian domestik.
Langkah countercylical seperti akumulasi cadangan devisa pada saat arus masuk yang dapat dimanfaatkan sebagai self-insurance manakala terjadi arus balik. Namun langkah ini menyebabkan peningkatan likuiditas perekonomian sehingga memerlukan biaya sterilisasi yang tidak murah untuk penyerapannya. Kebijakan yang memberikan disinsentif bagi arus modal yang berjangka pendek, seperti Tobin-type tax, kewajiban hedging, dan persyaratan minimum-tinggal atas arus modal adalah langkah-langkah yang dapat diterapkan untuk memperpanjang jangka waktu arus modal masuk.[6]
3.      Pengalaman dalam Implementasi Makroprudensial
Penerapan makroprudensial sebenarnya sudah dilakukan di sejumlah negara termasuk di Asia. Namun, implementasi regulasi makroprudensial lebih banyak dilakukan secara diskresi dan belum menjadi “built in Stabilizer”. Instrumen yang paling banyak digunakan adalah penyesuaian loan-to-value (LTV) ratio dan persyaratan modal, terutama bobot risiko dari CAR. Dalam banyak kasus, penyesuaian-penyesuaian juga dilakukan bersamaan dengan instrumen yang ditujukan untuk pengendalian moneter, seperti giro wajib minimum dan pembatasan pinjaman pada sektor-sektor tertentu.
Di Indonesia, instrumen yang sering digunakan adalah mengubah bobot risiko dari suatu jenis kredit, terutama untuk mespon terjadinya “credit crunch” paska krisis. Sebagai contoh, pada tahun 2006, Bank Indonesia mengeluarkan sejumlah regulasi relaksasi bagi perbankan untuk mendorong penyaluran kredit setelah terjadi mini-crisis di akhir 2005. Di antara relaksasi regulasi tersebut adalah penyesuaian penurunan bobot risiko ATMR untuk kredit usaha kecil (KUK) menjadi 85%, kredit pemilikan rumah (KPR) 40%, dan kredit pegawai/atau pensiunan 50%. Pada tahun 2009, paska krisis 2008, Bank Indonesia juga kembali menurunkan bobot risiko aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk Kredit UMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN dengan persyaratan tertentu dari 50% menjadi 20% dan KUMKM yang dijamin bukan BUMN dari 85% menjadi sesuai rating lembaga penjamin tersebut.
Regulasi makroprudensial lain yang diterapkan antara lain adalah penyesuaian GWM yang dikaitkan dengan LDR. Seperti halnya perubahan bobot risiko, penyesuaian GWM ini dilakukan untuk mendorong penyaluran kredit. Sementara itu, untuk merespon peningkatan kredit yang tumbuh tinggi, biasanya Bank Indonesia hanya mengeluarkan moral suation.
4.      Kerangka Pengambilan Keputusan
Dalam implementasi kebijakan makroprudensial, salah satu isu yang penting adalah apakah implementasinya akan menggunakan sebuah rule atau diskresi. Seperti halnya dalam kebijakan moneter, selalu ada trade-off antara menggunakan rule vs diskresi. Rule memberikan kepastian kepada pelaku pasar dan kredibilitas kepada BI. Namun, rule yang terlalu kaku menutup fleksibilitas bagi BI untuk merespon perubahanperubahan struktural maupun ketidakpastian yang sering terjadi dalam pasar keuangan.
Sebaliknya, diskresi memberikan ruang gerak bagi BI untuk melihat dampak dari makroprudensial terhadap sistem keuangan dan perekonomian dan melakukan penyesuian-penyesuaian terhadap pendekatan yang digunakan dan melakukan judgment terhadap kebijakan yang akan diambil ke depan. Diskresi tentu saja menimbulkan ketidakpastian akan kebijakan ke depan yang diambil oleh BI. Ketidakpastian ini akan mendorong para pelaku pasar untuk cenderung ekstra hati-hati dengan menjaga tingkat likuiditas atau rasio modal melebihi dari yang diperlukan. Sebagai akibatnya, bank menjadi kurang efisien dan membebankan biaya modal tersebut kepada nasabah, menjadikan biaya kredit dalam perekonomian lebih mahal. Diskresi juga dapat mendorong terjadinya forbearence, terutama ketika dihadapkan suatu keputusan yang sulit atau tidak populer yang harus diambil. Apalagi, ketika keputusan diskresi tersebut mempunyai implikasi hukum terhadap bank sentral.
Mengingat adanya kelebihan dan kelemahan, baik dari rule maupun diskresi, model pengambilan keputusan diskresi terbatas[7] (constrained discretion) sebagaimana halnya Inflation Targeting Framework (ITF) dapat menjadi alternatif terbaik. Dalam sistem ini, BI tetap harus mempunyai sebuah kerangka pengambilan keputusan yang jelas dengan sebuah rule yang ditentukan di awal. Rule yang diumumkan kepada publik ini menjadi patokan bank sentral dalam melakukan reaksi kebijakan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian, misalnya dalam bentuk persyaratan menambah modal atau menurunkan modal.
Namun demikian, untuk menghindari kekakuan dari sistem ini, regulator tetap mempunyai opsi untuk secara diskresi menyimpang dari rule tersebut, misalnya, karena adanya shock di dalam perekonomian yang tidak dapat direspon dengan menggunakan rule yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini dapat dianalogikan dengan Taylor rule dalam kerangka ITF. Ketika tekanan inflasi diidentifikasi bersumber dari sisi suplai yang diperkirakan tidak memberikan dampak lanjutan kepada ekspektasi inflasi, bank sentral tidak harus merespon kenaikan inflasi di atas target sebagaimana telah ditentukan dalam Taylor rule. Namun demikian, pengecualian ini harus digunakan dalam situasi yang sangat jarang dan perlu dikomunikasikan secara jelas kepada pelaku pasar untuk menghindari masalah kredibilitas dari rule yang telah diumumkan serta agar mereka memahami mengapa regulor melakukan pengecualian tersebut.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam isu rule vs diskresi ini adalah sistem hukum yang berlaku. Ketika sistem hukum masih lemah, seperti di Indonesia, dimana diskresi seringkali  dipermasalahkan di depan hukum, maka akan lebih aman bagi regulator untuk menutup atau meminimalkan ruang diskresi.
IV.     KESIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI
Krisis ekonomi global telah memberikan pelajaran berharga bagi otoritas moneter bahwa menjaga inflasi yang rendah tidaklah cukup untuk mencapai tujuan stabilitas makroekonomi. Beberapa krisis yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa ketidakstabilan makroekonomi lebih banyak bersumber dari sektor sistem keuangan. Sektor keuangan secara inheren menciptakan prosiklikalitas yang berlebihan sehingga menyebabkan ketidakstabilan makroekonomi. Paper ini menunjukkan tingginya prosiklikalitas dari sistem keuangan di Indonesia, yang diperngaruhi antara lain ketergantungan sistem keuangan pada bank sebagai sumber dana, semakin dominannya bank asing, dan mobilitas modal yang bersifat prosiklikal.
Kebijakan moneter yang memiliki tujuan utama menjaga stabilitas harga perlu bersinergi dengan kebijakan makroprudensial yang berorientasi pada menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Lebih spesifik, kebijakan moneter berpotensi mendukung stabilitas sistem keuangan melalui kemampuannya mempengaruhi kondisi keuangan dan perilaku di pasar keuangan dalam mengambil risiko. Transmisi kebijakan moneter melalui balance sheet, bank lending, bank capital channel, serta risk-taking channel menjustifikasi peran kebijakan moneter untuk melakukan respon apabila terjadi potensi instabilitas yang disebabkan oleh sektor keuangan. Di sisi lain, kebijakan makroprudensial yang didisain untuk  mitigasi prosiklikalitas dalam perekonomian dapat mendukung kebijakan moneter dalam mengendalikan fluktuasi output dan inflasi.
Beberapa agenda reformasi keuangan yang lebih jangka panjang perlu dilakukan untuk mengurangi prosiklikalitas sistem keuangan di Indonesia. Pertama, pengembangan sistem keuangan yang lebih terdiversifikasi dengan  mengembangkan pasar keuangan non-bank, seperti surat utang korporasi, perlu terus didorong agar perusahaan tidak tergantung pada bank. Kedua, peran bank asing yang perlu didefinisikan secara jelas. Ketiga, supervisi perbankan juga harus bersifat countercyclical dengan melakukan pemeriksanaan yang lebih intensif tatkala pertumbuhan kredit tumbuh sangat tinggi seiring dengan periode ekspansi perekonomian. Lebih dari itu, yang lebih urgen adalah mengatur bank secara individual (mikro) di satu sisi dan bahwa kebijakan moneter tidak tingkat terutama di manajemen puncak dalam mengubah mind-set tentangnya keterkaitan mikro-makro sangatlah diperlukan. Secara internal, integrasi kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter mengharuskan adanya koordinasi yang sering antara sayap kebijakan moneter dan sayap stabilitas sistem keuangan. Oleh sebab itu, di tingkat Direktorat maupun di tingkat Komite Kebijakan (KEM/FEP), interaksi antara kedua sayap tersebut perlu dilakukan secara reguler.
Terakhir, komunikasi kebijakan dalam paradigma terintegrasinya kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan menjadi lebih krusial. Respon kebijakan moneter terhadap berkembangnya ketidakseimbangan di sektor keuangan melalui kenaikan suku bunga sulit untuk diterima secara politik. Oleh sebab itu, komunikasi yang persuasif kepada masyarakat tentang outlook yang lebih berjangka panjang dan pentingnya menjaga stabilitas makro dan finansial dalam jangka panjang sangat diperlukan. Komunikasi ini semakin penting karena interaksi antara sektor keuangan dan sektor riil yang semakin kompleks dalam perekonomian yang semakin terintegrasi secara global semakin mengharuskan komunikasi yang intensif dengan pelaku pasar.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, J, Kusmiarso,B, Pramono,B, Prasmuko, A, dan Prastowo (2001). Credit crunch di Indonesia setelah krisis : fakta, penyebab, dan implikasi kebijakan. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia.

Bank of England (2009). The role of macroprudential policy: A Discussion Paper - November 2009.

Bank Indonesia (2010). Laporan Perekonomian Indonesia 2009. Bank Indonesia.

Borio, C and I. Shim. (2007). What Can (Macro-) Prudential Policy do to Support
Monetary Policy? (December 2007). BIS Working Paper No. 242.

Borio, C and W White (2004): “Whither monetary and financial stability? The iplications of evolving policy regimes”, in Monetary policy and uncertainty: adapting to a changing economy, proceedings of symposium sponsored by the Federal Reserve Bank of Kansas City, Jackson Hole, 28-30 August, pp 131-211. Also available as BIS Working Papers, no 147, February 2004.

Juhro, Solikin, et al (2009). Review Penerapan Inflation ITF di Indonesia. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter.

Kaminsky, G., Reinhart, C. and Vegh, C.A. (2004), When it Rains, it Pours: Procyclical Capital Flows and Macroeconomic Policies (September 2004). NBER Working Paper No. W10780.

Libertucci dan Quagliariello (2010). Rules vs Discretion in Macroprudential Policy. VOX: http://www.voxeu.org/index.php?q=taxonomy/term/2176

Ocampo, J.A. (2008). Macroeconomic Vulnerability: Managing Pro-Cyclical Capital Flows. http://www.bot.or.th/English/EconomicConditions/Semina/Documents/09_Presentation_Ocampo.pdf


[1] Borio and White (2003)
[2] Beberapa studi mencoba memasukkan harga aset ke dalam loss function dari bank sentral bersama dengan inflasi dan output gap.
[3] Borio and Shim (2007)
[4] Bank of England (2009), IMF (2009), dan Borio and Shim (2007).
[5] Kaminsky, Reinhart, and Veigh (2004) dan Ocampo (2008).
[6] Ocampo (2008).
[7] Lihat Bank of England (2009) dan Libertucci dan Quagliariello (2010).

2 komentar:

  1. makalah anda bagus sekali, saya jadikan ini sebagai salah satu regerensi tugas kuliah saya. Terima kasih bnyk

    BalasHapus
  2. Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack
    Visit Harrah's 양산 출장마사지 Philadelphia 부천 출장마사지 Casino & 시흥 출장샵 Racetrack 상주 출장안마 in Chester for the very best casino entertainment experience. Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack is 구리 출장마사지

    BalasHapus