MENGINTEGRASIKAN
KEBIJAKAN MONETER DAN MAKROPRUDENSIAL:
Kebijakan
Moneter di Indonesia Pasca Krisis Global
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas akhir
semester
Mata Kuliah: Seminar Keuangan dan Perbankan Syari’ah
Dosen Pengampu: Bpk. M. Fauzi
Disusun oleh
:
MUHAMMAD HISYAM (092411112)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
LATAR BELAKANG
Bagi pembuat kebijakan seperti Bank Indonesia, krisis
ekonomi dan keuangan adalah suatu kejadian mahal yang dapat digunakan untuk
melakukan refleksi, mengambil pelajaran atas kejadian yang baru saja dilewati,
dan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas apa yang dilakukan selama ini.
Sebagaimana halnya krisis-krisis ekonomi sebelumnya, krisis ekonomi dan
keuangan global yang saat ini sedang dalam proses pemulihan memberikan sejumlah
pelajaran berharga bagi otoritas moneter. Pelajaran-pelajaran yang dapat
dipetik mempunyai implikasi yang penting bagi perbaikan-perbaikan atas kerangka
kebijakan moneter yang selama ini kita pahami dan kita gunakan.
Boom-bust dari pertumbuhan kredit seiring dengan
siklus kepercayaan ini pada akhirnya semakin memperbesar fluktuasi
perekonomian. Secara inheren perilaku bank membaik, berbalik menjadi sangat
risk-averse yang berlebihan ketika terjadi pelemahan ekonomi. Kedua, perilaku
ini juga seringkali diperparah oleh regulasi yang bekerja secara prosiklikal,
yaitu mendorong pertumbuhan kredit di saat pertumbuhan ekonomi membaik dan
sebaliknya mendorong pengetatan kredit saat perekonomian melemah. Regulasi perbankan
yang lebih difokuskan pada kesehatan individu bank ini seringkali tidak kompatibel
dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan dan makroekonomi.
Implikasinya adalah bahwa kebijakan moneter yang
berorientasi pada inflasi yang rendah, seperti Inflation Targeting Framework
tidaklah cukup. Dia perlu didukung oleh adanya sebuah instrumen regulasi
prudensial di sektor perbankan yang didisain untuk menjaga stabilitas
makroekonomi secara keseluruhan sebuah instrumen yang sering disebut sebagai
kebijakan makroprudensial. Dalam konteks ini, bank sentral harus selalu memperhatikan
interaksi antara sektor finansial dan sektor riil. Mengabaikan interaksi ini dapat
menyebabkan bank sentral menjadi cenderung memandang rendah risiko di sektor keuangan
ketika makroekonomi dalam kondisi yang stabil, dan cenderung memandang berlebihan
terhadap risiko di sektor keuangan ketika dihadapkan pada kondisi makroekonomi
yang tidak stabil. Artinya, perlu sebuah sinergi antara kebijakan moneter dan
kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial yang berperan menekan prosiklikalitas
mendukung kebijakan moneter untuk mengurangi fluktuasi output.
II.
PERUMUSAN MASALAH
Makalah ini akan mencoba membuka pemikiran tentang
perlunya sebuah paradigma baru dalam kebijakan moneter pasca krisis global.
Mengintegrasikan aspek makroprudensial ke dalam kebijakan moneter, membawa
implikasi pada perlunya melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kerangka
kebijakan moneter. Bagaimana pentingnya kebijakan moneter terhadap stabilitas
sistem keuangan? Bagaimana memasukkan makroprudensial kedalam framework kebijakan
moneter? Bagaimana kebijakan makroprudensial yang countercyclical?
III.
PEMBAHASAN
Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga
stabilitas harga. Untuk mencapai tujuan tersebut, bank sentral menggunakan suku
bunga kebijakan sebagai instrumen utama. Namun, menjaga stabilitas harga
tidaklah cukup untuk menjamin tercapainya stabilitas makroekonomi, karena
sistem keuangan yang berperilaku prosiklikal menyebabkan fluktuasi perekonomian
yang berlebihan. Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah bagaimana kebijakan
moneter dapat secara efektif menjaga stabilitas makro ekonomi.
A. Kebijakan
Moneter dan Stabilitas Sistem Keuangan
Isu penting dalam konteks peran kebijakan moneter
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan adalah bagaimana bank sentral merespon
ketidakseimbangan yang terjadi di sektor keuangan (financial imbalances). Isu yang telah lama menjadi perdebatan ini
muncul kembali setelah krisis global karena adanya argumen bahwa krisis global
yang terjadi sebagaian disebabkan oleh kebijakan moneter yang melakukan
pembiaran terjadinya akumulasi imbalances dan kenaikan harga aset yang
berlebihan. IMF (2009), misalnya, mengatakan bahwa pendekatan “benign neglect” seperti itu telah menyebabkan
moral hazard dan speculative booms yang menyebabkan kenaikan harga aset jauh
melebihi fundamentalnya.
Dalam perdebatan ini, ada dua pendapat yang
berseberangan, yaitu “clean” vs “lean” pendekatan aktif vs pendekatan pasif.
Pandangan pertama mengatakan bahwa bank sentral seharusnya fokus pada inflasi.
Harga-harga aset perlu dimonitor sepanjang mengandung informasi mengenai
kondisi perekonomian, namun bank sentral tidak perlu merespon kenaikan harga
aset tersebut itu sendiri. Pandangan ini didasarkan pada dua argumen. Pertama,
tidak mudah membedakan antara kenaikan harga aset yang disebabkan oleh
spekulasi dengan yang disebabkan oleh optimisme yang masih rasional. Kedua,
kebijakan moneter terlalu tumpul untuk menghentikan kenaikan harga aset dan
intervensi kebijakan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Pandangan ini
mengatakan lebih baik merespons dampak dari bubble secara expost, daripada mencegah berkembangnya asset bubble secara ex ante.
Kenaikan harga aset akibat spekulasi memang tidak
mudah diidentifikasi dengan pasti. Namun, lebih baik melakukan tindakan untuk
mencegah terjadinya krisis dari pada bersikap pasif dan membiarkan
berkembangnya kegiatan spekulatif yang mengarah kepada skenario krisis.
Membatasi peran bank sentral untuk sekedar pasif ketika pertumbuhan kredit
melambung tinggi dan membiarkan harga aset menggelembung. Hal ini akan
menciptakan moral hazard dari pelaku pasar. Selama pelaku pasar tahu bahwa bank
sentral tidak akan mengerem kenaikan harga aset, mereka akan terus mendorong
harga aset. Apalagi ketika mereka tahu bahwa ada jaminan dari bank sentral akan
menyediakan likuiditas yang cukup ketika krisis terjadi.
Hal tersebut mendorong munculnya argumen sebaliknya,
yaitu bank sentral seharusnya “leaning
againts the wind”, melakukan respon terhadap keseimbangan di sektor
keuangan. Argumen ini telah banyak dikemukakan utamanya oleh Bank for International Settlement (BIS)
jauh-jauh hari sebelum global terjadi.[1]
Argumennya adalah bank sentral dapat menggunakan
instrumen suku bunga lebih dari yang diperlukan oleh inflasi dan output gap
apabila menghadapi pertumbuhan kredit yang terlalu cepat dan laju kenaikan yang
kencang dari harga aset.[2]
Artinya, walaupun inflasi kelihatannya terkendali, bank sentral dapat melakukan
pengetatan kebijakan moneter apabila ada tanda-tanda berkembangnya bubble, tercermin dari kenaikan yang
tajam dari pemberian kredit, meningkatnya leverage
pada institusi keuangan, neraca perusahaan, dan rumah tangga, maupun
harga-harga asset, termasuk stok dan properti. Dengan kata lain, untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan kebijakan moneter harus berperan secara
simetris,bukan saja merespon ketika fase bust,
namun juga pada saat fase boom dari
siklus ekonomi dan keuangan.
Kebijakan moneter mempunyai potensi dalam memitigasi
risiko berkembangnya ketidakseimbangan di sektor keuangan. Kebijakan moneter
dapat mempengaruhi perekonomian riil dan inflasi melalui pengaruhnya pada
neraca perusahaan, neraca bank, dan perilaku perusahaan dan bank terhadap
risiko. Oleh sebab itu, kebijakan moneter mempunyai peran yang signifikan dalam
mempengaruhi ekspansi yang berlebihan di sektor keuangan yang mengarah kondisi
yang tidak sustainable. Dengan demikian, kebijakan moneter memiliki potensi
untuk mengurangi ketidakseimbangan di sektor keuangan dan prosiklikalitas
dengan mengurangi optimisme yang berlebihan dan menekan permintaan kredit.
Pentingnya kebijakan moneter dalam mengendalikan
ketidakseimbangan di sektor keuangan, tidak berarti bahwa stabilitas harga aset
menjadi target eksplisit kebijakan moneter. Kebijakan moneter sendiri tidak
mampu mengendalikan harga aset, terutama ketika spekulasi harga aset mendorong
kenaikan harga aset yang menyebabkan imbal hasil dari aset tersebut sangat
tinggi. Dalam kondisi demikian, perubahan suku bunga kebijakan tidak akan
berpengaruh pada portofolio investor, terutama untuk investasi di pasar
keuangan. Kenaikan suku bunga kebijakan yang bersifat across the board ini akan menyebabkan overkill terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Mengikuti prinsip Tinbergen bahwa satu instrumen tidak
bisa digunakan untuk mentargetkan lebih dari tujuan, kebijakan moneter
memerlukan instrumen tambahan untuk mendukungnya dalam mengendalikan kenaikan
harga aset. Instrumen regulasi makroprudensial yang didisain untuk melakukan
countercyclical dapat digunakan untuk mengatasi prosiklikalitas dan mendukung
kebijakan moneter dalam mencapai stabilitas makroekonomi.
B. Kebijakan
Makroprudensial yang Countercyclical
1. Konsep kebijakan
makroprudensial
Kebijakan makroprudensial adalah instrumen regulasi
prudensial yang ditujukan untuk mendorong stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan, bukan kesehatan lembaga keuangan secara individu. Walaupun
kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial
memiliki area yang saling tumpang tindih, kebijakan makroprudensial mempunyai
tujuan dan peran tersendiri. Tujuan kebijakan moneter adalah menstabilkan harga
dari barang dan jasa dalam perekonomian. Sementara itu, tujuan dari kebijakan
makroprudensial adalah untuk menjamin daya tahan sistem keuangan secara
keseluruhan dalam rangka menjaga suplai jasa intermediasi keuangan kepada
perekonomian secara keseluruhan. Untuk itu, kebijakan makroprudensial digunakan
untuk mencegah terjadinya siklus boom-bust
suplai kredit dan likuiditas yang dapat menyebabkan ketidakstabilan
perekonomian. Dengan peran menjaga stabilitas suplai intermediasi keuangan ini,
kebijakan makroprudensial mempunyai peran yang menunjang tujuan kebijakan
moneter dalam menjaga stabilitas harga dan output.
Ada dua dimensi penting dari kebijakan
makroprudensial. Pertama, dimensi crosssection, yang menggeser fokus dari
regulasi prudensial yang diterapkan pada individual lembaga keuangan menuju
pada regulasi sistem secara keseluruhan. Sejarah krisis keuangan menunjukkan
bahwa sebagian besar dari krisis keuangan yang terjadi di dunia bukanlah akibat
dari masalah individual bank yang kemudian menular secara keseluruh sistem
keuangan. Sebaliknya, krisis-krisis besar yang terjadi merupakan akibat dari
eksposure terhadap ketidakseimbangan makro-keuangan yang dilakukan secara
bersamaan oleh sebagian besar pelaku sistem keuangan. Oleh sebab itu, pandangan
yang lebih holistik terhadap sistem keuangan dan hubungannya dengan
perekonomian makro dari berbagai sisi sangat diperlukan.
Dimensi kedua adalah dimensi time-series, yaitu
kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam
sistem keuangan.[3] Dalam
konteks ini, kebijakan makroprudensial harus didisain sedemikian sehingga mampu
menghilangkan atau paling tidak memitigasi prosiklikalitas. Prinsipnya adalah
bagaimana mendorong institusi keuangan untuk mempersiapkan bantalan (buffer) yang cukup di saat perekonomian
sedang baik, yaitu ketika ketidakseimbangan dalam sistem keuangan umumnya terjadi,
dan bagaimana menggunakan bantalan tersebut ketika perekonomian sedang
memburuk.
Tujuan dari kebijakan makroprudensial yang bersifat countercyclical tersebut akan bersinergi
dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan
makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat
perekonomian sedang melaju kencang (periode
upswing) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit sehingga
menjaga daya tahan bank ke depan di saat perekonomian memburuk. Dalam kondisi
demikian, upaya menjaga daya tahan sistem perbankan akan secara simultan
mendukung tujuan kebijakan moneter untuk menstabilkan suplai kredit.
Di saat krisis, ketika perekonomian dan harga aset
anjlok, regulasi prudensial yang hanya berorientasi pada kesehatan individual
bank akan mendorong bank memperketat pemberian kredit melalui kenaikan PPAP dan
persyaratan modal yang lebih ketat. Ketika perekonomian melemah, kualitas
debitur memburuk sehingga mengharuskan bank menyediakan tambahan modal. Karena
menambah modal dalam jangka pendek tidak mudah, maka bank akan menurunkan
penyaluran kredit untuk memenuhi ketentuan rasio modal. Dampaknya adalah
perekonomian semakin mengalami kontraksi, risiko gagal bayar semakin meningkat
dan modal bank semakin memburuk. Disinilah peran kebijakan makroprudensial yang
akan menjamin aliran kredit dapat berlangsung secara kontinyu dengan mendorong
bank mempersiapkan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang baik dan
menurunkan persyaratan modal di saat krisis dan resesi sehingga tidak
menghambat bank dalam penyaluran kredit.
2. Operasionalisasi
Kebijakan Makroprudensial
Secara operasional, sejumlah kajian telah dilakukan
untuk mendisain kebijakan makroprudensial yang bersifat “countercyclical”.[4]
Dalam konteks regulasi persyaratan modal, instrumen
regulasi modal yang bersifat countercyclical
adalah tambahan modal atau surcharge
diatas modal minimum yang disyaratkan oleh regulasi makroprudensial. “Capital
surcharge” tersebut harus bersifat dinamis (time-varying
capital surcharge), bervariasi secara countercyclical; meningkat ketika
perekonomian sedang naik untuk mengerem pertumbuhan neraca bank dan turun
ketika periode sedang melemah untuk memberikan insentif kepada bank untuk tetap
menyalurkan kredit. Capital surcharge
juga dapat dikenakan secara bervariasi sesuai dengan risiko sektoral, seperti
sektor properti.
Hal yang krusial dalam regulasi ini adalah menentukan
kapan tambahan modal diberlakukan. Salah satu pendekatan adalah dengan
menggunakan sejumlah indikator yang dapat menggambarkan siklus kredit, seperti
pertumbuhan kredit, spread suku bunga
kredit, survei kredit, pertumbuhan kredit ke sektor tertentu seperti perumahan,
harga rumah, dan leverage sektor korporasi. Indiaktor-indikator ini dapat
diagregasi menjadi sebuah indikator komposit.
Arus modal asing juga bersifat prosiklikal.[5]
Arus modal masuk ke suatu negara terjadi ketika investor asing mempunyai
ekspektasi akan membaiknya perekonomian domestik yang biasanya dibarengi oleh
interest diferensial yang positif dan ekspektasi apresiasi dari mata uang
domestik. Arus modal masuk ini apabila diintermediasikan ke sektor riil
menimbulkan “credit boom” yang mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat.
Sebaliknya, ketika terjadi ekspektasi terhadap perekonomian domestik memburuk
terjadi arus modal keluar sehingga memperburuk perekonomian domestik.
Langkah countercylical
seperti akumulasi cadangan devisa pada saat arus masuk yang dapat dimanfaatkan
sebagai self-insurance manakala terjadi arus balik. Namun langkah ini
menyebabkan peningkatan likuiditas perekonomian sehingga memerlukan biaya
sterilisasi yang tidak murah untuk penyerapannya. Kebijakan yang memberikan
disinsentif bagi arus modal yang berjangka pendek, seperti Tobin-type tax,
kewajiban hedging, dan persyaratan minimum-tinggal atas arus modal adalah
langkah-langkah yang dapat diterapkan untuk memperpanjang jangka waktu arus
modal masuk.[6]
3. Pengalaman dalam
Implementasi Makroprudensial
Penerapan makroprudensial sebenarnya sudah dilakukan
di sejumlah negara termasuk di Asia. Namun, implementasi regulasi
makroprudensial lebih banyak dilakukan secara diskresi dan belum menjadi “built
in Stabilizer”. Instrumen yang paling banyak digunakan adalah penyesuaian
loan-to-value (LTV) ratio dan persyaratan modal, terutama bobot risiko dari
CAR. Dalam banyak kasus, penyesuaian-penyesuaian juga dilakukan bersamaan
dengan instrumen yang ditujukan untuk pengendalian moneter, seperti giro wajib
minimum dan pembatasan pinjaman pada sektor-sektor tertentu.
Di Indonesia, instrumen yang sering digunakan adalah
mengubah bobot risiko dari suatu jenis kredit, terutama untuk mespon terjadinya
“credit crunch” paska krisis. Sebagai contoh, pada tahun 2006, Bank Indonesia
mengeluarkan sejumlah regulasi relaksasi bagi perbankan untuk mendorong
penyaluran kredit setelah terjadi mini-crisis di akhir 2005. Di antara
relaksasi regulasi tersebut adalah penyesuaian penurunan bobot risiko ATMR
untuk kredit usaha kecil (KUK) menjadi 85%, kredit pemilikan rumah (KPR) 40%,
dan kredit pegawai/atau pensiunan 50%. Pada tahun 2009, paska krisis 2008, Bank
Indonesia juga kembali menurunkan bobot risiko aktiva tertimbang menurut risiko
(ATMR) untuk Kredit UMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit
berstatus BUMN dengan persyaratan tertentu dari 50% menjadi 20% dan KUMKM yang
dijamin bukan BUMN dari 85% menjadi sesuai rating lembaga penjamin tersebut.
Regulasi makroprudensial lain yang diterapkan antara
lain adalah penyesuaian GWM yang dikaitkan dengan LDR. Seperti halnya perubahan
bobot risiko, penyesuaian GWM ini dilakukan untuk mendorong penyaluran kredit.
Sementara itu, untuk merespon peningkatan kredit yang tumbuh tinggi, biasanya
Bank Indonesia hanya mengeluarkan moral suation.
4. Kerangka
Pengambilan Keputusan
Dalam implementasi kebijakan makroprudensial, salah
satu isu yang penting adalah apakah implementasinya akan menggunakan sebuah
rule atau diskresi. Seperti halnya dalam kebijakan moneter, selalu ada trade-off antara menggunakan rule vs diskresi. Rule memberikan kepastian kepada pelaku pasar dan kredibilitas
kepada BI. Namun, rule yang terlalu
kaku menutup fleksibilitas bagi BI untuk merespon perubahanperubahan struktural
maupun ketidakpastian yang sering terjadi dalam pasar keuangan.
Sebaliknya, diskresi memberikan ruang gerak bagi BI
untuk melihat dampak dari makroprudensial terhadap sistem keuangan dan
perekonomian dan melakukan penyesuian-penyesuaian terhadap pendekatan yang
digunakan dan melakukan judgment
terhadap kebijakan yang akan diambil ke depan. Diskresi tentu saja menimbulkan
ketidakpastian akan kebijakan ke depan yang diambil oleh BI. Ketidakpastian ini
akan mendorong para pelaku pasar untuk cenderung ekstra hati-hati dengan
menjaga tingkat likuiditas atau rasio modal melebihi dari yang diperlukan.
Sebagai akibatnya, bank menjadi kurang efisien dan membebankan biaya modal
tersebut kepada nasabah, menjadikan biaya kredit dalam perekonomian lebih
mahal. Diskresi juga dapat mendorong terjadinya forbearence, terutama ketika dihadapkan suatu keputusan yang sulit
atau tidak populer yang harus diambil. Apalagi, ketika keputusan diskresi
tersebut mempunyai implikasi hukum terhadap bank sentral.
Mengingat adanya kelebihan dan kelemahan, baik dari
rule maupun diskresi, model pengambilan keputusan diskresi terbatas[7]
(constrained discretion) sebagaimana
halnya Inflation Targeting Framework (ITF) dapat menjadi alternatif terbaik.
Dalam sistem ini, BI tetap harus mempunyai sebuah kerangka pengambilan
keputusan yang jelas dengan sebuah rule yang ditentukan di awal. Rule yang
diumumkan kepada publik ini menjadi patokan bank sentral dalam melakukan reaksi
kebijakan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian,
misalnya dalam bentuk persyaratan menambah modal atau menurunkan modal.
Namun demikian, untuk menghindari kekakuan dari sistem
ini, regulator tetap mempunyai opsi untuk secara diskresi menyimpang dari rule
tersebut, misalnya, karena adanya shock di dalam perekonomian yang tidak dapat
direspon dengan menggunakan rule yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini
dapat dianalogikan dengan Taylor rule dalam kerangka ITF. Ketika tekanan
inflasi diidentifikasi bersumber dari sisi suplai yang diperkirakan tidak
memberikan dampak lanjutan kepada ekspektasi inflasi, bank sentral tidak harus
merespon kenaikan inflasi di atas target sebagaimana telah ditentukan dalam
Taylor rule. Namun demikian, pengecualian ini harus digunakan dalam situasi
yang sangat jarang dan perlu dikomunikasikan secara jelas kepada pelaku pasar
untuk menghindari masalah kredibilitas dari rule yang telah diumumkan serta agar
mereka memahami mengapa regulor melakukan pengecualian tersebut.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam isu rule vs
diskresi ini adalah sistem hukum yang berlaku. Ketika sistem hukum masih lemah,
seperti di Indonesia, dimana diskresi seringkali dipermasalahkan di depan hukum, maka akan
lebih aman bagi regulator untuk menutup atau meminimalkan ruang diskresi.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI
Krisis ekonomi global telah memberikan pelajaran
berharga bagi otoritas moneter bahwa menjaga inflasi yang rendah tidaklah cukup
untuk mencapai tujuan stabilitas makroekonomi. Beberapa krisis yang terjadi
dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa ketidakstabilan makroekonomi
lebih banyak bersumber dari sektor sistem keuangan. Sektor keuangan secara
inheren menciptakan prosiklikalitas yang berlebihan sehingga menyebabkan
ketidakstabilan makroekonomi. Paper ini menunjukkan tingginya prosiklikalitas
dari sistem keuangan di Indonesia, yang diperngaruhi antara lain ketergantungan
sistem keuangan pada bank sebagai sumber dana, semakin dominannya bank asing,
dan mobilitas modal yang bersifat prosiklikal.
Kebijakan moneter yang memiliki tujuan utama menjaga
stabilitas harga perlu bersinergi dengan kebijakan makroprudensial yang
berorientasi pada menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Lebih
spesifik, kebijakan moneter berpotensi mendukung stabilitas sistem keuangan
melalui kemampuannya mempengaruhi kondisi keuangan dan perilaku di pasar
keuangan dalam mengambil risiko. Transmisi kebijakan moneter melalui balance
sheet, bank lending, bank capital channel, serta risk-taking channel
menjustifikasi peran kebijakan moneter untuk melakukan respon apabila terjadi
potensi instabilitas yang disebabkan oleh sektor keuangan. Di sisi lain,
kebijakan makroprudensial yang didisain untuk
mitigasi prosiklikalitas dalam perekonomian dapat mendukung kebijakan
moneter dalam mengendalikan fluktuasi output dan inflasi.
Beberapa agenda reformasi keuangan yang lebih jangka
panjang perlu dilakukan untuk mengurangi prosiklikalitas sistem keuangan di
Indonesia. Pertama, pengembangan sistem keuangan yang lebih terdiversifikasi
dengan mengembangkan pasar keuangan
non-bank, seperti surat utang korporasi, perlu terus didorong agar perusahaan
tidak tergantung pada bank. Kedua, peran bank asing yang perlu didefinisikan
secara jelas. Ketiga, supervisi perbankan juga harus bersifat countercyclical
dengan melakukan pemeriksanaan yang lebih intensif tatkala pertumbuhan kredit
tumbuh sangat tinggi seiring dengan periode ekspansi perekonomian. Lebih dari
itu, yang lebih urgen adalah mengatur bank secara individual (mikro) di satu
sisi dan bahwa kebijakan moneter tidak tingkat terutama di manajemen puncak
dalam mengubah mind-set tentangnya keterkaitan mikro-makro sangatlah
diperlukan. Secara internal, integrasi kebijakan makroprudensial dan kebijakan
moneter mengharuskan adanya koordinasi yang sering antara sayap kebijakan
moneter dan sayap stabilitas sistem keuangan. Oleh sebab itu, di tingkat
Direktorat maupun di tingkat Komite Kebijakan (KEM/FEP), interaksi antara kedua
sayap tersebut perlu dilakukan secara reguler.
Terakhir, komunikasi kebijakan dalam paradigma
terintegrasinya kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan menjadi lebih
krusial. Respon kebijakan moneter terhadap berkembangnya ketidakseimbangan di
sektor keuangan melalui kenaikan suku bunga sulit untuk diterima secara
politik. Oleh sebab itu, komunikasi yang persuasif kepada masyarakat tentang
outlook yang lebih berjangka panjang dan pentingnya menjaga stabilitas makro
dan finansial dalam jangka panjang sangat diperlukan. Komunikasi ini semakin
penting karena interaksi antara sektor keuangan dan sektor riil yang semakin
kompleks dalam perekonomian yang semakin terintegrasi secara global semakin
mengharuskan komunikasi yang intensif dengan pelaku pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, J, Kusmiarso,B, Pramono,B, Prasmuko, A, dan
Prastowo (2001). Credit crunch di
Indonesia setelah krisis : fakta, penyebab, dan implikasi kebijakan.
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia.
Bank of England (2009). The role of macroprudential policy: A Discussion Paper - November
2009.
Bank Indonesia (2010). Laporan Perekonomian Indonesia 2009. Bank Indonesia.
Borio, C and I. Shim. (2007). What Can (Macro-)
Prudential Policy do to Support
Monetary Policy? (December 2007). BIS Working Paper No. 242.
Borio, C and W White (2004): “Whither monetary and financial stability? The iplications of evolving
policy regimes”, in Monetary policy and uncertainty: adapting to a changing
economy, proceedings of symposium sponsored by the Federal Reserve Bank of
Kansas City, Jackson Hole, 28-30 August, pp 131-211. Also available as BIS Working Papers, no 147, February
2004.
Juhro, Solikin, et al (2009). Review Penerapan Inflation ITF di Indonesia. Direktorat Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter.
Kaminsky, G., Reinhart, C. and Vegh, C.A. (2004), When
it Rains, it Pours: Procyclical Capital Flows and Macroeconomic Policies
(September 2004). NBER Working Paper
No. W10780.
Libertucci dan Quagliariello (2010). Rules vs
Discretion in Macroprudential Policy. VOX: http://www.voxeu.org/index.php?q=taxonomy/term/2176
Ocampo, J.A.
(2008). Macroeconomic Vulnerability: Managing Pro-Cyclical Capital Flows. http://www.bot.or.th/English/EconomicConditions/Semina/Documents/09_Presentation_Ocampo.pdf
makalah anda bagus sekali, saya jadikan ini sebagai salah satu regerensi tugas kuliah saya. Terima kasih bnyk
BalasHapusHarrah's Philadelphia Casino & Racetrack
BalasHapusVisit Harrah's 양산 출장마사지 Philadelphia 부천 출장마사지 Casino & 시흥 출장샵 Racetrack 상주 출장안마 in Chester for the very best casino entertainment experience. Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack is 구리 출장마사지